Buta Benci Buruk

Buta. Benci. Buruk.

3 kata yang sangat berarti dalam hidupku (saat ini)

Buta, aku sebenarnya sejak dulu tidak dikaruniai kepintaran otak kiri yang pas, sehinga aku sangatlah buta hitungan. Mau sebagaimana gampangnya kalan membuat soal, ketika aku yang mengerjakannya, pastilah ada guratan indah berwarna mewah berbentuk telur di lembar jawaban matematikaku itu.

Benci, kebutaanku terhadap matematika telah memupuk rasa benci terhadap pelajaran yang katanya penentu kesuksesan masa depan itu. Aku selalu berpaling dari matematika atas dasar benci. Rasanya aku ingin membakar museum matematika jika memang ada. Benci sekali! Apa sih matematika Toh nanti kita tidak mungkin menghitung besar sudut satu sisi pengki--penyodok sampah? Kurang kerjaan.

Buruk, pandangankuy terhadap matematika selalu buruk. Nyaris tidak ada yang baik. Satu-satunya pandangan baikku terhadap matematika adalah saat digunakan untuk menghitung uang, baik dalam realitas maupun dalam pelajaran ekononomi! Dalam pandanganku, orang-orang jago matematika itu terlalu tenggelam dalam dunianya yang individual sehingga menjadi ansos dan menyia-nyiakan hidupnya hanya dengan mengais penghargaan-penghargaan olimpiade matematika.

Kalian bisa menganggapku terlalu berlebihan terhadap matematika.

Kalian bisa bilang aku hanya anak pemalas dan tidak mau berusaha memecahkan soal.

Aku tidak marah.

Karena memang begitu!

Matematika,dalam pandanganku, hanyalah sebuah pelajaran yang menjadikan para pecintanya egois. Matematika tidak butuh perasaan. Matematika tidak butuh rasa percaya dari orang lain.

Matematika hanya butuh kesendirian, keegoisan, dan segalanya yang bersifat kesendirian.

How can I love it? Silly.

(maaf untuk para pecinta matematika, saya hanya melampiaskan perasaan kesal saya terhadap ibu saya yang mengatai saya yang iya-iya karena saya baru saja mendapatkan nilai O untuk matematika. Dan saya juga memang benci sekali terhadap matematika. Ini adalah karya kedua saya setelah puisi tentang kebencian matematika. Sekali lagi, MAAF!)