[FIC] Deuxiemme

Hei! I'm here again *halah sok inggris lu mir*
Sekarang aku mau ngepos fanfic lagi~ Ini sekuelnya "D' Adieu" hahaha..
Banyak yang request sekuelnya jadi aku bikin deh.. Sebenarnya bikinnya udah lama, tapi baru dipublikasikan di blog ini sekarang hahaha. So, happy reading~

=========

Author : miramince
Title : Deuxiemme
Genre : Angst-Drama
Rating : T
Cast : Cho Kyu Hyun, Kim Hye Rin, Lee Dong Hae
Note : This is the sequel of D’Adieu






Panas.

Hari ini tanggal 5 Juli, musim panas sudah datang. Orang-orang sudah mengganti bahan pakaian mereka dengan bahan yang lebih tipis dan lebih ringan. Anak-anak tingkat SMP dan SMA sudah mulai merencanakan liburan musim panas mereka—padahal ujian saja belum. Tempat-tempat rekreasi juga mulai ramai dibooking.

Hanya aku saja yang duduk sendirian disini. Di rumah sakit. Sendirian, dalam kegelapan.

Aku tak mau pulang. Aku lebih suka diam disini, di rumah sakit. Di rumah pastilah aku tidak bisa keluar kamar karena orang tuaku yang over-protective. Pih, apakah mereka tidak sadar usia?

“Hyun, ma bro!”

Aku masih belum peka dengan keempat indraku yang masih tersisa, jadi aku berusaha keras mengenali suara siapa itu, dan dari arah mana datangnya. Ah, aku jadi membayangkan Hye Rin. Dia sudah pulang sejak tanggal 15 Maret, sehari setelah perbannya dibuka. Aku tak pernah bertemu dengannya lagi. Hye Rin pasti sangat peka dengan keempat indra selain pengelihatannya. 20 tahun terbelenggu dalam kegelapan, apakah tidak takut terjadi apa-apa?

“Siapa?” kepalaku terus mencari sumber suara itu. Rasanya ada yang merangkul pundakku. Hangat rasanya. Akhirnya ada yang memelukku selain suster. Tapi tetap saja, aku masih tidak bisa mengenali tangan hangat yang merangkulku ini.

“Hyun, ini Donghae!”

Ah! Lee Donghae! Sahabatku, yang sudah 6 tahun tidak bertemu. Donghae pergi mencari ilmu ke Jerman. Katanya sih, dia masuk jurusan arsitektur. Tapi aku tidak percaya, karena Donghae tidak pernah mendapat nilai bagus dalam pelajaran matematika. Aku lebih percaya kalau Donghae masuk universitas music atau apalah yang termasuk dalam dunia seni. Wajahnya lebih mendukung.

Donghae tidak tahu masalahku dengan Hye Rin, karena saat aku mengenal Hye Rin, Donghae sudah pergi. Ah, ingin sekali aku menceritakan semuanya kepada Donghae. Tapi hatiku.. Rasanya terlalu sakit jika mengingat kembali bagaimana Hye Rin mengataiku waktu itu.

“..PEMBUAL!! MENJIJIKKAN..!!!!..”

“Hyun, aku tadi ke rumahmu. Ayahmu bilang kau sekarang tinggal disini.” Donghae mulai berbicara, “Kenapa kau bisa jadi buta seperti ini, Hyun?”

Tangan Donghae masih merangkul bahuku. Aku mulai bingung. Aku tak mungkin bercerita kalau aku memberikan mataku untuk Hye Rin. Aku malas bercerita dari awal. Aku lebih tidak ingin kalau nanti Donghae berkata aku bodoh, aku adalah pria terbodoh yang mau saja memberikan indra penting dalam hidupku kepada seorang wanita yang akhirnya mencampakanku. Aku tidak ingin nanti Donghae berkata aku jahat tidak bercerita apapun tentang Hye Rin kepadanya.

“Ummh.. Aku kecelakaan, Hae.” Jawabku singkat. Aku sudah tak bisa mencari alasan yang lebih bagus dari itu. Kecelakaan. Semua bisa terjadi saat kecelakaan, kan? Tulang patah, rahang bergeser..

“Ohh.. Sabar ya, Hyun.. Kalau begitu aku akan setiap hari datang kesini supaya kau tidak bosan. Bagaimana?” Donghae menepuk-nepuk bahuku. Aku yang terdiam dalam kegelapan mulai tersenyum senang. Akhirnya aku bisa berbicara kepada orang lain selain ikan goldfish peliharaanku. Namanya Goldy. Goldy selalu jadi tempat curahan hatiku. Tapi besok tidak lagi. Sudah ada Donghae.

“Nah. Kau lebih baik tersenyum. Jangan murung terus. Sudah buta, pemurung, tambah jelek.” Donghae berkata sambil tertawa kecil. Sebelum aku bisa membalasnya, Donghae sudah pergi.



Aku sendirian lagi. Tapi kesendirian kali ini, tidak membuatku kesepian.



*

**

“KYU HYUUUUUUUUUN!!!”

“HUAAAA!!!” aku kaget karena tiba-tiba ada yang memukul keras punggungku dan berteriak memanggil namaku. Lee Donghae. Aku meringis sambil mencari-cari dimana dia. Gelap. Kegelapan ini belum bisa membuatku terbiasa.

“Hyun! Aku bertemu gadis yang pasti akan menjadi jodohku!” Hae duduk disampingku—ternyata. Kupasang telingaku baik-baik. Donghae jarang sekali bercerita tentang seorang gadis ketika aku mengenalnya. Satu-satunya gadis yang paling sering dia bicarakan adalah ibunya.

“Kau harus melihatnya—“ Donghae terhenti. Melihatnya... Donghae pasti terhenti karena kata itu. Ahh. Ternyata rasanya sakit kalau seperti ini. Aku tak mau orang lain melihat aku buta. Aku ingin semua orang berkata Lihat dan Lihat di depanku.

“Aku ingin melihatnya, Donghae. Nanti kau bawa kesini, ya?” aku berkata dengan senyum kepadanya. Donghae terdiam. Sepertinya tak percaya kalau aku berkata kalau aku ingin melihat gadis itu. Tapi aku tahu sekarang kalau Donghae pasti sedang tersenyum. Feeling.

“Oke! Mumpung aku sudah minta nomor handphonenya.. HAHAHA..”
“EH?!! SECEPAT ITU?!!”

“Kau seperti tidak tahu aku saja, Hyun!” Donghae tertawa lagi. Kami tertawa bersama. Dibalik tawaku, aku merasakan sesuatu yang aneh. Aneh, tapi familiar.

Ahh.

Tertawa saja dahulu.


*

**

***


“Hyun! Hyun!”

Ah, suara itu lagi. Sudah kudengar suara senang itu sejak dua minggu yang lalu, selalu pada jam yang sama, yaitu sore hari. Yah, jam-jam dimana seharusnya aku masih terlelap karena kurang kerjaan. Donghae. Pasti mau menceritakan tentang gadis yang ditemuinya, dan dijanjikannya akan dibawa kesini.

“Kau pasti kaget, Hyun!” Donghae mengguncang-guncang badanku dengan bersemangat. Nafasnya masih belum teratur. Dia pasti berlari kesini dan langsung saja membangunkan aku. Dasar gila. Ah, seperti apa sih perempuan itu? Aku semakin penasaran saja.

“Hyun, kan aku dan gadis itu sudah semakin dekat.. Tadi kuajak jalan berdua ke Coffee Bean, kafe kopi yang ada di ujung jalan rumah sakit ini lho.. Lalu kami mengobrol-ngobrol banyak dan bercanda-canda.. Aku merasa aku sedang bersama denganmu lho, Hyun.. Entah mengapa. Aku merasa sangaaaat nyaman ketika bersama gadis itu.” Donghae menceritakan apa saja yang dilakukannya tadi dengan gadis itu dengan panjang lebar. Aku nyaris tertidur lagi karena bosan menunggu dia berhenti berbicara.

“Ya, apalagi, Dong Hae?” aku menanggapinya dengan malas—aku memang tidak berniat untuk dijadikan tempat curahan hati hari ini.

“Lalu ketika kutanya maukah dia menjadi pacarku.. Dia mau!! DIA MAU, HYUUUUN!!!” Donghae semakin gencar mengguncang-guncang badanku. Bahkan dia meremas-remas bahuku, menjambak-jambak rambutku, dan lain-lain sebagainya. Aku dengan pasrah menerima apapun yang akan dia lakukan kepadaku karena aku tidak tahu dia mau melakukan apa kepadaku.

“Uhuk, uhuk! Le..pas..kan Hae!” aku meringis kesakitan, “Yah, kalau begitu, kapan kau ajak gadis itu kesini? Aku penasaran, Hae! Kau terus bercerita, sedangkan aku kan tak tahu siapa gadis itu..”

“Oke oke, Hyun!! Tenang saja.. Aku akan membawa gadis itu kesini.. Hahahah! Ya sudah kalau begitu ya, aku mau pulang!” Hae menepuk pipiku dengan gemas. Hiah. Dasar sedang kasmaran. Aku hanya tersenyum kecil mendengar derap kaki sahabatku.

Donghae. Lee Donghae. Punya pacar. Kenapa aku merasa ditinggalkan, ya? Perasaan ini sama ketika Hye Rin mencampakkanku waktu itu.

*

**

**



Aku sendirian lagi di rumah sakit ini. Donghae sudah lama tidak kesini. Menelpon pun tidak pernah, karena suster-suster yang merawatku tidak pernah menyampaikan pesan atas nama Donghae kepadaku. Apakah Donghae terlalu sibuk dengan pacarnya?

Sendiri.

Rasanya dingin. Padahal cuaca panas diluar sana. Apakah aku ditakdirkan untuk sendirian terus seumur hidupku? Setelah menghadapi kenyataan bahwa aku adalah anak tunggal keluargaku, lalu aku selalu dibully disekolah sehingga tidak punya teman—hanya Donghae yang mau menemaniku waktu itu, dicampakkan pacar yang sudah susah-susah kuselamatkan masa depannya dengan memberikan mataku kepadanya, lalu sekarang?

“EAAAAAAAAAAAAARGGGHH!!!” aku berteriak frustasi. Aku menggunakan kedua tanganku untuk mengekspresikan kekesalanku. Kupukul kasur, kulempar semua benda yang kusentuh, kuacak-acak rambutku.

Siapa yang mau menemaniku? Siapa yang sudi mencintaiku? Aku buta. Aku tidak pintar. Aku tidak kaya. Aku.....

Air mataku mengalir membentuk sungai di pipiku. Nafasku tersengal-sengal. Hidungku memerah. Aku berharap seiring dengan banyaknya air mata yang mengalir keluar dari kelopak mataku, aku akan bisa melihat. Aku tidak ingin merasa menyesal telah mendonorkan mataku kepada Kim Hye Rin. Aku berusaha untuk tidak menyesal.

Tapi..

Kenapa hatiku terasa sakit sekarang? Kenapa sepertinya ada rasa benci yang menjalar di tubuhku setiap kuingat nama Kim Hye Rin?

Donghae.. Kemarilah sekarang.. Aku membutuhkanmu........










*

**



“Cho Kyu Hyun, ada yang menjengukmu!” suster yang kutahu bernama Min Rin Ni, memberitahu kalau ada orang yang menjengukku. Aku tidak perduli. Paling itu Ayah, atau Ibu. Atau mungkin penjenguk yang nyasar dan mau menjenguk Cho Kyu Hyun lain selain diriku. Sudah sebulan tidak ada yang menjengukku.

“Yo, Hyun!”


Suara itu lagi. Nada bicara itu lagi. Lee Donghae. Mau apa dia kesini? Mau becerita kalau dia diputuskan oleh pacarnya? Atau mau bercerita tentang mengapa dia tidak datang selama satu bulan setelah dia berjanji akan menjengukku setiap hari?

“Aku bawa pacarku lho.. Kenapa kau malah cemberut seperti itu? Jelek, tahu!” Donghae menepuk-nepuk pipiku lagi. Aku tetap bergeming. Donghae tertawa melihatku dan lalu memanggil nama yang sangat familiar.


“Kim Hye Rin!”


“Annyeonghase..” suara gadis itu terhenti. Suara itu. Suara cempreng yang menyejukkan hatiku. Kim Hye Rin. Kim Hye Rin-ku yang mencampakkanku. Dia adalah pacar sahabatku.

Aku beranjak bangun. Aku lalu berlari ke arah Hye Rin. Entah mengapa aku serasa bisa melihat sosok Hye Rin hanya dengan mendengar suaranya saja. Aku tak peduli ketika aku menabrak Donghae dan dia berteriak-teriak padaku. Aku hanya ingin memeluk Hye Rin. Aku hanya ingin menyentuh rambut halusnya lagi. Aku ingin mencium wangi parfumnya, aku ingin membelai pipinya lagi. Aku ingin saat-saat indah yang dulu kulalui bersama dengan Hye Rin kumiliki lagi sekarang.


“Hyun..?” suara Hye Rin terdengar sangat pelan. Mungkin dia tidak mau Dong Hae mendengarnya. Aku tak perduli mau Dong Hae mendengarnya atau tidak. Aku tetap tidak mau melepas tanganku yang memeluk Hye Rin dengan erat.

“HYUN! APA-APAAN KAU?? LEPASKAN!!” Dong Hae menarikku dengan kuat sampai aku terpelanting kebelakang. Setelah itu lalu Hae melemparku dengan membabi buta. Punggungku terbentur tembok dengan keras. Aku lalu jatuh tersungkur.

“Rin! Kau kenal dengan bedebah itu??”

Hae? Apakah aku tidak salah dengar? Kau menyebutku—bedebah? Sahabatmu ini bedebah, Hae? Setelah dia memeluk kekasihmu—yang asal kau tahu, adalah mantan kekasih..

“Tidak.”


Apalagi ini? Apa? Rin? Rin? Kenapa kau tega berkata kalau kau tidak mengenalku? Kau pikir siapa yang memberimu mata itu?

“Rin.. Hye—Rin.. –Rin..” aku memanggil-manggil namanya sambil menangis tersedu-sedu. Tiba-tiba saja aku merasa aku sesak. Jelas saja. Aku tadi ditendang oleh Dong Hae.

“Kenapa kau memeluk Hye Rin??? Kau kan tahu dia kekasihku!! Aku tak pernah rela ada orang lain menyentuh milikku, kau tahu itu kan, Hyun?!! Rin, ayo kita pergi!” Hae (sepertinya) menarik Hye Rin keluar dan meninggalkan aku yang tersungkur setelah terbentur tembok.


Ah. Dicampakkan lagi.

“GYAA! Cho Kyu Hyun!! Kau kenapa??!!!” Suster Min Rin Ni berteriak histeris tak lama setelah Dong Hae dan Hye Rin pergi. Dokter datang, dan langsung menggendongku ke atas kasur. Aku tetap diam. Aku seperti tidak bisa merasakan apa-apa saat ini. Aku merasa tidak ada artinya lagi aku hidup.

“Suster.. Bisa aku pergi jalan-jalan? Aku tak apa-apa kok..” aku merajuk kepada Suster Min Rin Ni. Tapi apapun jawaban dari suster itu, aku tetap saja akan pergi. Tak peduli apapun, tak peduli apakah aku tidak bisa melihat, aku tidak tahu jalan, aku tidak tahu ini itu.

Aku hanya ingin keluar dari sini!!!!

“Iya. Kau bo... HEY!! CHO KYU HYUN!!!” suster itu histeris lagi karena aku sudah berlari keluar. Aku terus berlari lurus lurus dan lurus. Terkadang aku menabrak kursi sampai jatuh, terkadang aku menabrak orang, atau terbentur tembok.

Aku tak peduli sakitnya. Aku sudah merasakan yang lebih sakit. Dong Hae dan Hye Rin mencampakkanku. Kedua orang yang penting untuk hidupku. Sekarang malah berpura-pura seakan-akan mereka tidak pernah mengenalku.


“HENTIKAN ORANG ITU!! HENTIKAN DIAA!!!”


“CHO..—“

Suara histeris terakhir suster Min Rin Ni terdengar seiring dengan suara truk yang membentur tubuhku dengan kuat.

Aku merasa melayang sekarang. Aku merasa lebih ringan. Aku merasa sepi. Meskipun aku merasa orang-orang berkerumun disekitarku, berteriak “Oh tidak lihat darahnya!!!” “Bukankah orang itu buta??!!” “Ya Tuhan!!” “Cepat bawa dia masuk lagi ke rumah sakit!!!”. Hembusan terakhir nafasku telah mengubur semuanya.

Semoga kalian berbahagia, Dong Hae, Hye Rin. Aku sudah tiada, jadi kalian tidak perlu berpura-pura tidak kenal aku ketika nanti aku bertemu kalian.

Jaga mataku Hye Rin, dan untukmu Dong Hae, jagalah orang yang paling kucintai.

==fin==

+++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++

comments are loved always muahmuah hahaha

2 Response to "[FIC] Deuxiemme"

gravatar
Okti Dinasakti Says:
This comment has been removed by the author.
gravatar
Okti Dinasakti Says:

hadeuh mir.. yang ini lebih dalem.. kenapa gak okti ajah yang akhirnya ngurus kyuhyun? *ngarep*

nice job mir 2 thumbs up!!

Post a Comment

mince's lovers says